Masa Demokrasi
|
Deskripsi
|
|
1. periode pemerintahan masa revolusi kemerdekaan
(periode 1945 – 1949 dengan UUD 1945)
|
· political franchise yang menyeluruh: para pembentuk negara sudah sejak semula memiliki komitmen yang sangat besar dengan demokrasi
· presiden
yang secara konstitusional memungkinkan dirinya menjadi seorang
diktatot kemudian dibatasi kekuasaannya ketika Komita Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk untuk menggantikan parlemen
· Maklumat
Wakil Presiden memberikan kesempatan terbentuknya sejumlah partai
politik, dan selanjutnya menjadi peletak dasar bagi sistem kepartaian
di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan
politik Indonesia.
|
|
2. pemerintahan parlementer (periode 1950-1959 dengan UUDS 1950)
|
· lembaga
perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan yang sangat tinggi
dalam proses politik yang berjalan, bahkan perwujudan kekuasaan
parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya
kepada pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet barus meletakkan
jabatannya.
· Akuntabilitas
pemegang jabatan dan politisi pada umumnya sangat tinggi. Hal ini
terjadi karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah media massa
sebagai alat sosial kontrol. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam
periode ini merupakan contoh kongkrit dari tingginya akuntabilitas
tersebut.
· kehidupan
kepartaian dapat dikatakan memperoleh peluang yang besar dan
berkembang secara maksimal. Dalam periode ini Indonesia menganut
sistem banyak partai (multy party system). Hampir 40 partai
politik yang terbentuk dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam
proses rekrutmen baik pengurus atau pimpinan partai maupun para
pendukungnya. Campur tangan pemerintah dalam hal rekrutmen internal
boleh dikatakan tidak ada sama sekali sehingga setiap partai bebas
memilih ketua dan segenap anggota pengurusnya.
· sekalipun
pemilu hanya dilaksanakan satu kali saja yaitu pada tahun 1955, akan
tetapi pemilu tersebut benar-benar dilaksanakan dengan menggunakan
prinsip demokrasi. Kompetisi diantara partai politik berjalan sangat
intensif, partai-partai dapat melakukan nominasi calonnya dengan
bebas, kampanye dilaksanakan dengan penuh tanggung dalam rangka
mencari dukungan yang kuat dari para pemilihnya.
· masyarakat
pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak dasar mereka tidak
dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga negara dapat
memanfaatkannya dengan maksimal. Hak untuk berserikat dan berkumpul
dapat diwujudhan dengan jelas dengan terbentuknya sejumlah partai
politik dan organisasi peserta pemilu tumbuh subur. Kebebasan pers
dirasakan baik sekali, demikian juga kebebasan berpendapat
· dalam masa pemerintahan parlementer daerah-daerah memperoleh otonomiyang
cukup, bahkan otonomi yang seluas-luasnya-dengan asas desentralisasi
sebagai landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan kekuasaan
antara pemerintah pusatdengan pemerintah daerah.
|
|
3. pemerintahan Soekarno (periode dekrit 5 Juli 1959 – 1965 dengan UUD 1945)
|
· Presiden
Soekarno memiliki peluang yang besar untuk mewujudkan gagasan
politiknya dan memainkan peranan politik, yang pada masa parlementer
hanya sebagai kepala negara. Sebagai Presiden Soekarno menunjuk
Soekarno seorang “warganegara” untuk membentuk cabinet yang perdana
menterinya adalah dirinya sendiri
· Dengan kewenangannya, membentuk DPRGR sebagai lembaga perwakilan rakyat menggantikan Dewan Konstituante
· Dengan
demokrasi terpimpin menjadikan Soekarno salah satu agenda settler
politik Indonesia yang menjadikan dirinya pemimpin yang sangat
berkuasa
· Proses
politik yang berjalan semuanya bermuara kepada Soekarno dengan segala
atribut yang dimilikinya. Kondisi ini memberikan peluang kepada PKI
untuk masuk dalam eksekutif dan merupakan aliansi yang sangat
diperlukan oleh Soekarno. Di lain pihak Angkatan Darat juga menjadi
kekuatan politik yang sangat kuat oleh keadaan. Politik pada masa
Soekarno diwarnai tarik menarik kepentingan yang sangat kuat antara
tiga kekuatan politik utama yaitu Presiden Soekarno, PKI, dan Angkatan
Darat.
· Dalam
masa demokrasi terpimpin, Presiden menempatkan dirinya sebagai yang
paling berkuasa. Adapun karakteritik perpolitikan yang terjadi: (1)
mengaburnya sistem kepartaian; (2) peranan legislatif dalam sistem
politik menjadi lemah; (3) Basic human rights menjadi lemah; (4) anti
kebebasan pers; (5) sentralisasi kekuasaan.
|
|
4. pemerintahan Orde Baru (periode supersemar 11 Maret 1966 – 1997)
|
· Sistem politik tersusun secara hirarkhis-sentralistik yang dikendalikan oleh tangan Soeharto
· Birokrasi
yang tersusun secara hirarkhis-sentralistik tersebut adalah lembaga
yang paling dominan, sementara parpol, parlemen, kelompok-kelompok
kepentingan, organisasi-organisasi social masyarakat sipil, dan rakyat
banyak dalam posisi subordinat. Segala sektor kehidupan dari istana negara sampai ke pelosok desa dikontrol penuh oleh birokrasi.
· Birokrasi
sipil, militer clan teknokrat beraliansi dengan kekuatan bisnis
oligopolistik baik domestik maupun asing, yang dikendalikan langsung
oleh Soeharto.
· Baik
sumberdaya politik clan ekonomi itu dipersonifikasikan sebagai milik
rumah tangga pribadi Soeharto yang didistribusikan secara leluasa untuk
dipertukarkan dengan loyalitas elite di sekelilingnya, pejabat
birokrasi sampai rakyat di pedesaan. Pengelolaan dan distribusi
sumberdaya ekonomi-politik secara tradisional inilah yang menyebabkan
merajalelanya korupsi, kolusi, nepotisme maupun kroniisme, yang
belakangan ini massa-rakyat dengan jargon "KKN".
· Selain
dengan sumberdaya material, Soeharto memelihara kepatuhan massa
dengan penerapan ideologi dan hukum, yang termanifestasi dalam wujud
Demokrasi Pancasila, konstitusi UUD 1945, Dwifungsi ABRI, pembangunan
clan sebagainya. Menurut William Liddle (1996), ideologi dan hukum itu
disebut sumberdaya persuasif yang bersifat simbolik, yaitu kapasitas
untuk memperoleh persetujuan dari yang lain, bahwa institusi,
kebijakan, atau programnya melayani kepentingan-kepentingan lainnya
untuk kebaikan bersama.
· Loyalitas
individu dari istana negara sampai ke pelosok desa bukan pada
ideologi, hukum dan lembaga-lembaga politik tetapi pada figur-figur yang
mempunyai akses ekonomi politik. Loyalitas itu mengalir dari orang
miskin pada level bawah, kemudian ke pejabat-pejabat rendahan, pejabat
tinggi, dan akhirnya sampai pada Soeharto (Gordon Hein, 1982).
· Untuk
mengendalikan kelompok-kelompok kepentingan yang tumbuh dalam
masyarakat dibentuklah organisasi-organisasi korporatis yang seragam
yang tunggal. Misalnya ada KORPRI, Dharma Wanita, SPSI, PWI, KNPI,
HKTI, dan sebagainya.
|
|
5. pemerintahan era reformasi
(periode 1999 – sekarang)
|
· Jutuhnya kekuasaan rejim Soeharto dan terpilihnya presiden Habibie untuk meneruskan agenda reformasi
· Adanya
semangat dan keyakinan pemimpin politik dan masyarakat akan demokrasi
sebagai alternatif terbaik bagi sistem politik Indonesia masa depan,
yang ditandai dengan adanya euphoria massa yang kadang-kadang tak
terkontrol, dengan melegalisasi segala hal atas nama reformasi
· Berlanjutnya
liberalisasi politik dari awal sampai akhir pemerintahan Habibie.
Perwujudannya: (1) dibukanya kran kebebasan untuk partisipasi politik
baik dalam tataran masyarakat maupun dalam tataran kepartaian; (2)
dibebaskannya nenerapa tahanan politik berikut pemberian abolisi dan
rehabilitasi; (3) terbukanya kran kebebasan pers; (4) jaminan hak-hak
sipil ataupun HAM kea rah yang lebih baik; (5) merencanakan dan
melaksanakan pemilu yang relatif demokratis.
|
Rabu, 05 September 2012
DESKRIPSI DEMOKRASI DI INDONESIA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar