Rekayasa genetika (Ing. genetic engineering) dalam arti paling luas adalah penerapan genetika untuk kepentingan manusia. Dengan pengertian ini kegiatan pemuliaan hewan atau tanaman melalui seleksi dalam populasi dapat dimasukkan. Demikian pula penerapan mutasi
buatan tanpa target dapat pula dimasukkan. Walaupun demikian,
masyarakat ilmiah sekarang lebih bersepakat dengan batasan yang lebih
sempit, yaitu penerapan teknik-teknik biologi molekular untuk mengubah susunan genetik dalam kromosom atau mengubah sistem ekspresi genetik yang diarahkan pada kemanfaatan tertentu.
Obyek rekayasa genetika mencakup hampir semua golongan organisme, mulai dari bakteri, fungi, hewan tingkat rendah, hewan tingkat tinggi, hingga tumbuh-tumbuhan. Bidang kedokteran dan farmasi paling banyak berinvestasi di bidang yang relatif baru ini. Sementara itu bidang lain, seperti ilmu pangan, kedokteran hewan, pertanian (termasuk peternakan dan perikanan), serta teknik lingkungan juga telah melibatkan ilmu ini untuk mengembangkan bidang masing-masing.
Perkembangan
Ilmu terapan ini dapat dianggap sebagai cabang biologi maupun sebagai ilmu-ilmu rekayasa
(keteknikan). Dapat dianggap, awal mulanya adalah dari usaha-usaha yang
dilakukan untuk menyingkap material yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Ketika orang mengetahui bahwa kromosom adalah material yang membawa bahan terwariskan itu (disebut gen) maka itulah awal mula ilmu ini. Tentu saja, penemuan struktur DNA
menjadi titik yang paling pokok karena dari sinilah orang kemudian
dapat menentukan bagaimana sifat dapat diubah dengan mengubah komposisi
DNA, yang adalah suatu polimer bervariasi.
Tahap-tahap penting berikutnya adalah serangkaian penemuan enzim restriksi (pemotong) DNA, regulasi (pengaturan ekspresi) DNA (diawali dari penemuan operon laktosa pada prokariota), perakitan teknik PCR, transformasi genetik, teknik peredaman gen (termasuk interferensi RNA), dan teknik mutasi terarah (seperti Tilling). Sejalan dengan penemuan-penemuan penting itu, perkembangan di bidang biostatistika, bioinformatika dan robotika/automasi memainkan peranan penting dalam kemajuan dan efisiensi kerja bidang ini.
Dampak Rekombinasi Genetika
Domba Dolly yang lahir pada 5 Juli 1996 diumumkan pada 23 Februari 1997 oleh majalah Nature. Pada
4 Januari 2002 di hadapan para wartawan dinyatakan domba itu menderita
radang sendi di kaki belakang kiri di dekat pinggul dan lutut atau
menderita arthritis. (Kompas,
5/1/02)Kelahiran domba Dolly berkat kemajuan teknologi rekayasa
genetika yang disebut kloning dengan mentransplantasikan gen dari sel
ambing susu domba ke ovum (sel telur domba) dari induknya sendiri.
Sel
telur yang sudah ditransplantasi ditumbuhkembangkan di dalam kandungan
domba, sesudah masa kebuntingan tercapai maka sang domba lahir yang
diberi nama Dolly. Sehingga domba Dolly lahir tanpa kehadiran sang
jantan domba, seolah-olah seperti sepotong batang ubi kayu ditanam di
tanah yang kemudian tumbuh disebut mencangkok. Sejak lahir si domba
Dolly tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat tetapi sesudah hampir
enam tahun mulai muncul penyakit arthritis yang dijelaskan di hadapan
wartawan.
Menjadi pertanyaan: Mengapa domba Dolly menderita arthritis saja diumumkan ke seluruh muka Bumi?
Domba Dolly dihasilkan dari hasil transplantasi gen atau gen yang satu dipindahkan ke gen yang lain. Diasosiasikan perpindahan gen. Dapat antarjenis maupun lintas jenis yang kemudian ditumbuhkembangkan. Jenis penyakit yang ditemukan oleh Prusiner SB, 1986 diklasifikasikan sebagai penyakit prion; pada domba disebut penyakit Scrapie pada tahun 1787, dapat menular ke sapi yang disebut penyakit Sapi-gila tahun 1986. Penyakit sapi gila dapat menular ke manusia menjadi penyakit Creutzfeldt-Jakob varian baru (nv CJD) tahun 1996. Sedangkan CJD tradisional dijumpai pada tahun 1922.
Ada
satu jenis penyakit lagi pada manusia disebut penyakit kuru juga
disebabkan oleh prion,tahun 1957. Penyakit prion juga disebut “gangguan dari gen“, dapat dicetuskan apabila adanya kanibalisme.
Kekhawatiran
penyakit prion atau penyakit gen sesudah 200 tahun kemudian baru
menjadi kenyataan, Yaitu sejak tahun 1787 sampai 1986. Demikian pun
halnya dengan kekhawatiran penyakit arthritis yang diderita oleh domba
Dolly sesudah enam tahun baru muncul. Masa inkubasi penyakit Scrapie
pada domba 1,5 sampai dengan empat tahun, penyakit sapi gila empat
sampai dengan delapan tahun, dan penyakit kuru pada manusia delapan
sampai dengan 20 tahun. Apakah penyakit arthritis yang dijumpai pada
domba Dolly sesudah enam tahun juga merupakan suatu penyakit dari gen
atau muncul dari penggunaan rekayasa genetika?
Pertanyaan
ini muncul sesudah adanya pengalaman pada penyakit prion seperti
penyakit sapi gila di Inggris yang dikemukakan oleh Prusiner S B di
tahun 1986.
Kekhawatiran
terhadap penyakit arthritis si domba Dolly disebabkan oleh penggunaan
rekayasa genetika didukung pula oleh beberapa hasil hewan percobaan:
Percobaan
Guff B L (1985), penggunaan gen pertumbuhan manusia kepada embrio,
diharapkan akan muncul keadaan yang baik ternyata muncullah yang buta,
immunosupresif, arthritis, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
Demikian pula penelitian Arfad Putzai (1998) menggunakan kentang transgenik yang mentah diberikan kepada tikus percobaan memberikan gejala gangguan pencernaan, imunosupresif, kekerdilan, serta adanya arthritis.
Apakah arthritis pada domba Dolly sesudah enam tahun dari kelahirannya disebabkan oleh penggunaan teknologi rekayasa genetika? masih diragukan kebenarannya. Walaupun percobaan Arfad Putzai ditentang oleh berbagai pakar di seluruh dunia tentang keakuratan penelitian tersebut, tetapi Perdana Menteri Inggris menyatakan agar meninjau kembali tentang peraturan penggunaan produk-produk biotehnologi di Inggris. Kedua percobaan tersebut merupakan kenyataan dampak negatif yang disebabkan oleh penggunaan GMO.
Demikian pula penelitian Arfad Putzai (1998) menggunakan kentang transgenik yang mentah diberikan kepada tikus percobaan memberikan gejala gangguan pencernaan, imunosupresif, kekerdilan, serta adanya arthritis.
Apakah arthritis pada domba Dolly sesudah enam tahun dari kelahirannya disebabkan oleh penggunaan teknologi rekayasa genetika? masih diragukan kebenarannya. Walaupun percobaan Arfad Putzai ditentang oleh berbagai pakar di seluruh dunia tentang keakuratan penelitian tersebut, tetapi Perdana Menteri Inggris menyatakan agar meninjau kembali tentang peraturan penggunaan produk-produk biotehnologi di Inggris. Kedua percobaan tersebut merupakan kenyataan dampak negatif yang disebabkan oleh penggunaan GMO.
Satu-satunya
gangguan kesehatan sebagai dampak negatif atau bentuk nyata penggunaan
hasil rekayasa genetika (GMO), pada manusia yang telah dapat dibuktikan
ialah reaksi alergis. Tetapi, baik diketahui bahwa gen tersebut
menimbulkan reaksi alergis maka seketika itu seluruh gen serta produk
dari gen tersebut ditarik dari peredaran, sehingga dikatakan sampai saat
ini belum dijumpai lagi adanya dampak negatif gangguan kesehatan yang
ditimbulkan dalam penggunaan GMO pada manusia.
Seperti
dikemukakan oleh Wallase, 2000, bahwa tidak seorang pun di muka Bumi
ini ingin menjadi hewan percobaan terhadap penggunaan produk GMO.
Sedangkan untuk hewan dan beberapa hewan percobaan ada pula dijumpai di
lapangan seperti adanya penggunaan GMO pada tanaman yang digunakan
sebagai bahan pakan pokok larva kupu-kupu raja menimbulkan gangguan
pencernaan, menjadi kuntet akhirnya larva kupu-kupu mati.
Temuan
di lapangan mengenai kasus kematian larva kupu-kupu yang memakan bahan
pakan produk GMO dan hasil penelitian Arfad Putzai memberikan
kekhawatiran terhadap pemberian hasil rekayasa genetika kepada hewan
maupun manusia dalam keadaan mentah. Bentuk nyata lainnya penggunaan
hasil rekayasa genetika yang telah pernah dijumpai ialah adanya gangguan
lingkungan berupa tanaman yang mempergunakan bibit rekayasa genetika
menghasilkan pestisida. Sesudah dewasa tanaman transgenik yang tahan
hama tanaman menjadi mati dan berguguran ke tanah. Bakteri dan jasat
renik lainya yang dijumpai pada tanah tanaman tersebut mengalami
kematian. Kenyataan di lapangan bahwa hasil trasngenik akan mematikan
jasad renik dalam tanah sehingga dalam jangka panjang dikhawatirkan akan
memberikan gangguan terhadap struktur dan tekstur tanah.Di khawatirkan
pada areal tanaman transgenetik sesudah bertahun-tahun akan memunculkan
gurun pasir. Kenyataan di lapangan adanya sifat GMO yang disebut
cross-polination. Gen tanaman transgenetik dapat ber-cross- polination
dengan tumbuhan lainnya sehingga mengakibatkan munculnya tumbuhan baru
yang dapat resisten terhadap gen yang tahan terhadap hama penyakit. Cross-polination
dapat terjadi pada jarak 600 meter sampai satu kilometer dari areal
tanaman transgenic. Sehingga bagi areal tanaman transgenik yang sempit
dan berbatasan dengan gulma maka dikhawatirkan akan munculnya gulma baru
yang juga resisten terhadap hama tanaman tertentu.
Penggunaan bovinesomatotropine hormon yang berasal hasil rekayasa genetika dapat meningkatkan produksi susu sapi mencapai 40 persen dari produksi biasanya; demikian pula porcine somatotropin yang dapat meningkatkan produksi daging babi 25 persen dari daily gain biasanya.
Tetapi, kedua ini akan menghasilkan hasil sampingan berupa insulin growth factor I (IGF I) yang banyak dijumpai di dalam darah maupun di dalam daging, hati, serta di dalam susu. Mengonsumsi IGF I akan memberikan kekhawatiran risiko munculnya penyakit diabetes, penyakit AIDS dan resisten terhadap antibiotika pada manusia sedangkan pada sapi akan memberikan risiko munculnya penyakit sapi-gila serta penyakit radang kelenjar susu (mastitis).
Kekhawatiran
munculnya dampak negatif penggunaan GMO terhadap ekonomi bibit yang
dihasilkan dengan rekayasa genetika merupakan final stok bahkan disebut
dengan suicide seed sehingga membuat kekhawatiran akan adanya monopoli.
Kekhawatiran terhadap efesiensi penggunaan GMO, misalnya, di Meksiko
penggunaan bovinesomatothropine kepada sapi meningkatkan produksi susu 25 persen tetapi penggunaan pakan meningkat sehingga tidak adanya efisiensi.Penggunaan bovinesomatotropine hormon yang berasal hasil rekayasa genetika dapat meningkatkan produksi susu sapi mencapai 40 persen dari produksi biasanya; demikian pula porcine somatotropin yang dapat meningkatkan produksi daging babi 25 persen dari daily gain biasanya.
Tetapi, kedua ini akan menghasilkan hasil sampingan berupa insulin growth factor I (IGF I) yang banyak dijumpai di dalam darah maupun di dalam daging, hati, serta di dalam susu. Mengonsumsi IGF I akan memberikan kekhawatiran risiko munculnya penyakit diabetes, penyakit AIDS dan resisten terhadap antibiotika pada manusia sedangkan pada sapi akan memberikan risiko munculnya penyakit sapi-gila serta penyakit radang kelenjar susu (mastitis).
Demikian pula kekhawatiran penanaman kapas Bt di Provinsi Sulawesi Selatan dapat meningkatkan produksi tiga kali lipat, tetapi bila subsidi supplier ditarik apakah tetap efisien? Kekhawatiran akan musnahnya komoditas bersaing apabila minyak kanola diproduksi dengan rekayasa genetika dapat meningkatkan produksi minyak goreng beratus kali lipat maka akan punah penanaman tanaman penghasil minyak goreng lainnya seperti kelapa dan kelapa sawit.Demikian pula dengan teknologi rekayasa genetika telah diproduksi gula dengan derajat kemanisan beribu kali dari gula biasanya, maka dikekhawatirkan musnahnya tanaman penghasil gula.
Kekhawatiran munculnya dampak negatif penggunaan GMO terhadap sosial bersifat religi, bagi umat Islam penggunaan gen yang ditransplantasikan ke produk makanan maka akan menimbulkan kekhawatiran bagi warga Muslim. Penggunaan gen hewan pada bahan makanan hasil rekayasa genetika yang akan dikonsumsi merupakan kekhawatiran bagi mereka yang vegetarian.
***
Kasus Ajinomoto di Indonesia di awal tahun 2001, penyedap rasa Ajinomoto diduga menggunakan unsur babi di dalam memroses pembuatan salah satu enzimnya. Pembuatan enzim ini dapat menggunakan teknologi rekayasa genetika menggunakan gen. Seluruh produk Ajinomoto yang diduga menggunakan unsur babi di dalam proses pembuatan enzimnya ditarik dari peredaran.
Kloning manusia seutuhnya merupakan kekhawatiran umat manusia yang akan memusnahkan nilai-nilai kemanusiaan. Gen hewan disilangkan dengan gen manusia yang akan memberikan turunan sebagai hewan, yang jelas-jelas menurunkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kekhawatiran munculnya dampak negatif penggunaan GMO di Indonesia, Indonesia telah mengimpor berbagai komoditas yang diduga sebagai hasil dari rekayasa genetika maupun yang tercemar dengan GMO, berasal dari negara-negara yang telah menggunakan teknologi rekayasa genetika. Mulai dari tanaman, bahan pangan dan pakan, obat-obatan, hormon, bunga, perkayuan, hasil perkebunan, hasil peternakan dan sebagainya diduga mengandung GMO atau tercemar GMO.
Kebiasaan akan mendorong kekhawatiran munculnya dampak negatif penggunaan hasil rekayasa genetika
Gangguan terhadap lingkungan
Pola tanam produk pertanian di Indonesia areal kecil dikelilingi oleh berbagai gulma, dengan adanya sifat cross-polination dari GMO maka dikhawatirkan akan bermunculan gulma baru yang lebih resisten.
Tanpa membakar sisa tanaman GMO akan memusnahkan jasad renik dalam tanah bekas penanaman tanaman GMO akibat sifat dari sisa GMO yang bersifat toksis. Jangka panjang akan merubah struktur dan tekstur tanah.
Sifat tanaman GMO yang dapat membunuh larva kupu-kupu, akan memberikan kekhawatiran punahnya kupu-kupu di Sulawesi Selatan. Seperti diketahui Sulawesi Selatan termasyhur dengan kupu-kupunya.
Gangguan terhadap kesehatan.
Satu-satunya gangguan kesehatan akibat penggunaan hasil rekayasa genetika ialah reaksi alergis yang sudah dapat dibuktikan. Kebiasaan mengonsumsi daging, di Indonesia memiliki kekhususan tersendiri dalam pola konsumsi daging, tidak ada bagian tubuh sapi yang tidak dikonsumsi. Apabila sapi disuntik dengan bovinesomatotropin, mengakibatkan kadar IGF I meningkat sangat tinggi dalam darah dan hati. Bagi daerah yang menggunakan darah sebagai bahan pangan demikian pula mengonsumsi hati (Indonesia mengimpor hati sejumlah lima juta kg dari negara-negara yang menggunakan GMO) memberikan kekhawatiran munculnya dampak negatif penggunaan GMO.
Kebiasaan di Indonesia mengonsumsi lalapan, mulai dari kol, kacang panjang, terong, kemangi, dan sebagainya apabila berasal dari tanaman transgenik maka dikhawatirkan memunculkan dampak negatif seperti larva kupu-kupu.
Kebiasaan di Indonesia menggunakan tauge mentah, kemungkinan dipergunakan kedele impor yang diduga kedele transgenik, maka dikhawatirkan munculnya dampak negatif seperti percobaan Arfad Putzai.
Kebiasaan pakan ternak, dari gulma, sisa-sisa dari hasil pertanian apabila berasal dari areal penanaman transgenik kemungkinan telah mengandung transgenik akan memberikan kekhawatiran seperti percobaan Arfad Putzai.
Pakan
ternak Indonesia didominasi bahan impor, baik bungkil kedele maupun
jagung berasal dari negara-negara menggunakan GMO sehingga diduga
mengandung bahan GMO. Penyakit ayam kuntet telah dijumpai di Indonesia,
dikhawatirkan akibat dari penggunaan jagung dan kedelai transgenik
seperti percobaan Arfad Putzai.